n






Wanita istimewa ini memilih hidup tanpa kemewahan demi membantu mereka yang kurang beruntung.

Setelah pagi yang hiruk-pikuk, suasana Central Market di Taitung County terasa senyap ketika kios-kios tutup untuk hari itu dan para pemilik pulang ke rumah yang nyaman. Namun satu lampu tetap menyala di sebuah kios sayuran.

Dengan kepala tertunduk, Chen Shu-Chu memilah-milah sayuran sambil menunggu pelanggan siang hari yang sesekali datang. Kerja keras selama beberapa puluh tahun membuat jari-jari tangan kanannya melengkung dan sendi-sendinya bengkak; bentuk kakinya juga sedikit berubah.

Chen menjalani hidup dengan rutinitas harian – bangun pukul tiga pagi, berangkat ke pedagang sayur kulakan, menyiapkan kiosnya dan berjualan sayur di sana sampai pukul tujuh atau delapan malam. Sebagai yang pertama tiba dan yang terakhir pergi, pemilik kios lain dengan penuh sayang menjuluki dia ‘pimpinan pasar’ atau ‘manajer pasar.’

Di dalam pasar yang gelap dan lembap, Chen, hampir 60 tahun, mengurus kios yang diwariskan sang ayah. Bagi Chen, “Yuan-Jin Vegetables” adalah segalanya. Dengan sayuran yang dia jual 'seikat NT$30 (sekitar Rp9.000), tiga ikat NT$50 (Rp15.000),' keuntungan Chen tidak besar. Namun hidup hemat memungkinkan dia menyumbang uang sebesar NT$10.000.000 (nyaris tiga miliar rupiah) untuk berbagai program amal, termasuk menyokong sekolah, panti asuhan dan anak-anak miskin.

Kemurahan hati yang tidak mementingkan diri sendiri dari wanita berpenghasilan kecil itu telah menempatkan dia di bawah sorotan internasional.

Pada Maret 2010, majalah Forbes menyebut dia sebagai salah satu dari 48 dermawan luar biasa dari wilayah Asia Pasifik. Sebulan kemudian, majalah Time memilih 100 orang paling berpengaruh di 2010, dan Chen masuk dalam kategori “Pahlawan Kedermawanan.” Ang Lee, sutradara pemenang Oscar yang juga sesama warga Taiwan, membuat tulisan perkenalan secara pribadi. “Uang hanya berharga jika diberikan kepada mereka yang membutuhkan,” dia mengutip Chen. Sang sutradara juga menulis, “Luar biasa, tetapi dari semua yang dia berikan, talenta terbesarnya adalah memberi teladan.”

Meski menerima penghargaan dari Time di New York, memperoleh pengakuan global dan bertemu Presiden Ma Ying-jeou, yang sesungguhnya dipedulikan Chen adalah kios sayurannya. Jika bukan karena Presiden Ma dan menteri luar negeri yang secara pribadi membujuk dia untuk pergi, dia tidak akan pernah setuju untuk mengunjungi New York karena merasa, “Ini bukan kompetisi dan saya tidak mau memenangkan apa-apa.” Di tengah kesibukan membuat paspor dan mempersiapkan keberangkatan, kekhawatiran utama Chen adalah para langganannya tidak akan bisa mendapat sayuran mereka.

Chen menjadi selebriti di Taitung County. Pemerintah daerah menghiasi kiosnya dengan poster dan spanduk ucapan selamat yang menyanjung dia sebagai “Kebanggaan Taitung” dan “Teladan Kedermawanan.” Bahkan ada ‘penggemar’ yang muncul di kiosnya dengan membawa keranjang sayur dan kamera, berharap untuk memotret Chen.

Meski mendapat banyak perhatian, Chen tetap rendah hati. “Saya tidak melakukan apa-apa yang luar biasa, dan semua orang yang mau, bisa melakukannya. Ada banyak orang yang suka beramal – kita tidak tahu saja tentang mereka,” katanya.

Chen, yang tidak menikah, menambahkan, “Saya tidak menempatkan kepentingan besar pada uang. Ketika saya menyumbang untuk membantu orang lain, saya merasa damai dan bahagia, dan saya bisa tidur nyenyak di malam hari.” Dia juga bersimpati kepada kaum miskin karena dia sendiri hidup sulit di masa muda.

Lahir pada 1950, Chen kehilangan ibunya setelah menyelesaikan sekolah dasar. Ibunya dilarikan ke rumah sakit karena kesulitan melahirkan dan keluarganya harus membayar asuransi sebesar NT$5.000 (1,5 juta rupiah) sebelum perhatian medis dapat diberikan. Chen menyaksikan ayahnya meminta uang kepada tetangga-tetangga mereka, tetapi ibunya terlambat diselamatkan. Sebagai putri sulung di keluarga, Chen harus tumbuh dewasa dalam semalam. Dia meninggalkan pendidikannya dan mengabdikan hidupnya untuk membantu berjualan sayuran.

Ketika berusia 18, adik lelakinya jatuh sakit yang terus berlarut-larut sampai lebih dari setahun, perlahan menguras tabungan keluarga. Para dokter menyarankan keluarganya mengirim sang adik ke Taiwan National University Hospital, tetapi bagaimana mereka bisa membayar biayanya? Huang Shun-zhong, guru di Ren-ai Primary School, membuka donasi untuk keluarga Chen. Sayang, adiknya tidak dapat diselamatkan.

Setelah mengalami kebaikan hati berupa donasi bagi keluarganya, Chen memutuskan untuk membantu kaum miskin begitu dia sanggup. Ketika ayahnya meninggal dunia 17 tahun lalu, Chen, penganut Buddha yang taat, mendermakan uang sebesar NT$1.000.000 (nyaris 300 juta rupiah) ke Fo Guang Shan Monastery.




Pada 2000, dia menyumbangkan jumlah yang sama besarnya kepada almamaternya, Ren-ai Primary School, untuk mendirikan “Emergency Relief Fund” yang membantu anak-anak miskin memperoleh bantuan finansial.

Pendamping dari pembangunan dan pemeliharaan badan amal tersebut adalah Li Guo-rong, yang mengajar keponakan lelaki Chen. Pada 2001, Li punya rencana untuk membangun perpustakaan di sekolah tersebut dan memperkirakan biayanya antara NT$4.000.000 sampai NT$5.000.000 (sekitar satu miliar rupiah). Ketika ia mendekati Chen, dengan harapan wanita itu akan menyumbang NT$50.000 (15 juta rupiah), Li terkejut saat Chen berkata, dia akan mendanai seluruh proyek.

Sementara pihak sekolah merasa skeptis, Chen merasa yakin. Pada Mei 2005, perpustakaan dua lantai tersebut selesai dibangun dan dinamai “Perpustakaan Chen Shu-Chu” untuk menghormati alumnus sekaligus “Pahlawan dari Pasar Sayur.” Dia telah mendonasikan NT$4.500.000 (1,3 miliar rupiah).

Kemampuan Chen untuk mendermakan uang dalam jumlah besar membuat banyak orang bertanya-tanya, “Kok, bisa seorang tukang sayuran menghasilkan uang sebanyak itu?”

“Pakai yang Anda butuhkan saja, dan Anda akan bisa menyisihkan begitu banyak uang!” ujar Chen. Sejak 1996, dia telah mendonasikan NT$36.000 (Rp10.750.000) untuk membantu tiga anak di organisasi Kidsalive International. Untuk mewujudkan itu, Chen menjelaskan bahwa dia memindahkan seluruh uang koinnya ke tiga kotak kardus kecil di rumah setiap malam. “Ini tindakan sederhana yang bisa dilakukan semua orang, kan?” tanya Chen.

Chen menjalani hidup yang amat sederhana, tanpa sedikit pun kemewahan. Dia tidak berminat kepada materi maupun bentuk kenikmatan apa pun. Bekerja, katanya, adalah kenikmatannya. “Saya cinta pekerjaan saya. Jika tidak, mana mungkin saya sanggup bekerja 16 jam sehari?” tuturnya.

Yang dibutuhkan Chen hanyalah makanan dan tempat untuk tidur. Semua hal lain di luar itu adalah kemewahan. Dia tidak membeli baju-baju mahal karena, “Saya tidak banyak bersosialisasi, maka tidak ada kebutuhan akan pakaian indah. Baju dari kios pinggir jalan sudah cukup baik untuk saya, dan bahkan di situ, saya suka menawar.”

Makanannya sehari-hari hanya butuh sedikit uang, yaitu untuk semangkuk nasi vegetarian dan semangkuk mi seharga NT$55 (Rp16.000). Bekukan apa pun yang tidak habis, keluarkan lagi uang sebesar NT$20 (Rp5.900) untuk sekaleng gluten dan tambahkan ke nasi dengan sedikit air panas. “Jadilah bubur yang rasanya amat enak,” kata Chen.

Dia juga tidur di atas lantai, kebiasaan dari masa muda ketika mulai bekerja di kios sayur. Kenyamanan ranjang yang hangat membuatnya sulit bangun pagi untuk berangkat ke pedagang kulakan, terutama selama bulan-bulan musim dingin. Karena itu, Chen memutuskan untuk tidur di lantai yang dingin, tempat dia tak akan berisiko terlambat.

Jadi, apakah bisnisnya meningkat setelah memenangkan penghargaan? “Berjalan seperti biasa,” ujar Chen. “Saya masih perlu menjual sayur-mayur saya, tidak banyak yang berubah.” Para pembuat iklan mendekati dia untuk membuat iklan, manajer-manajer keuangan menawarkan untuk mengelola keuangannya dan sejumlah pihak berniat baik menawarkan sumbangan uang untuk dia. Chen menolak semua tawaran itu dengan sopan. “Mengembalikan pinjaman uang itu mudah, tetapi mengembalikan kebaikan itu sulit,” kata Chen.

“Saya harus amat berhati-hati dalam menangani persoalan uang,” tambah Chen. Bahkan ketika pelanggan memberi tip, dia tidak mau menerima. “Membeli dari kios saya sudah merupakan bentuk dukungan,” dia menjelaskan.

Satu-satunya iklan yang pernah Chen terima adalah untuk Bureau of National Health Insurance dalam kenangan atas bundanya tercinta. Chen meminta seluruh pengambilan gambar dilakukan di dekat kiosnya sehingga tidak mengganggu bisnisnya. Pembayaran yang mau dia terima dari biro tersebut hanya sehelai kaos warna hitam.

Sejak pulang dari New York, Chen bekerja semakin keras. Dia punya tujuan baru: mengumpulkan NT$10.000.000 (Rp2,9 miliar) untuk mendirikan “Chen Shu-Chu Bursary” atau “Beasiswa Chen Shu-Chu” yang ditujukan untuk membantu anak-anak miskin membayar biaya sekolah dan tagihan medis, hal-hal yang tidak sanggup dia dapatkan ketika masih kecil.

“Yang saya butuhkan hanyalah menjual sayur sedikit lebih banyak dan menyisihkan uang sedikit lebih banyak, selain membayar sejumlah polis asuransi yang mendekati akhir periode. Banyak orang juga bersedia menyumbang. Saya yakin, tak akan ada masalah,” kata Chen dengan yakin.

Li, yang menganggap Chen sebagai kakak, berkata bahwa mendirikan badan beasiswa sesungguhnya merupakan cara yang bagus untuk membiarkan Chen pensiun dari menjual sayuran dan mulai menggunakan reputasinya untuk memengaruhi masyarakat. Harapannya, akan muncul lebih banyak “Chen Shu-Chu” yang dermawan.

“Filosofi hidup saya sederhana: Jika melakukan sesuatu membuat Anda cemas, maka itu pasti hal yang salah. Jika itu membuat Anda bahagia, maka Anda pasti telah melakukan hal yang benar. Apa yang dikatakan orang lain tidak penting,” kata Chen. Dia puas dengan apa yang dia miliki, dan merasa selama dia menjalani hidup yang dia harapkan, melakukan hal-hal yang dia inginkan, itu sudah cukup baik.

(Gao Ruo Wu; Foto Marc Gerritsen)






Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.