n

 

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam semoga terlimpah kepada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, keluarga dan para sahabatnya.

Pergantian tahun dalam kalender Islam sebentar lagi tiba. Tahun 1432 Hijriyah segera pergi meninggaljan kita, sementara 1433 hijriyah sudah menanti di depan mata. Menurut perhitungan kalender, tahun baru 1433 Hijriyah jatuh pada hari Ahad, 27 November 2012 M. Bagi sebagian muslim, bergantinya tahun merupakan hari berbahagia dan istimewa sehingga mereka saling mengucapkan selamat dan mendoakan satu kepada yang lainnya. Sebagian yang lain tidak mau membesar-besarkannya, karena tidak didapatkan keterangan bahwa para ulama salaf, dari kalangan Shahabat ridhwanullah ‘alaihim merayakannya.

 

Sesungguhnya perbedaan ini tentu bukan masalah prinsip dalam Islam, sehingga tak boleh menyebabkan terjadinya caci maki dan perpecahan sesama muslim. Apalagi masing-masing memiliki landasan berbeda, sebagiannya menyebutnya sebagai ubudiyah, namun sebagian lagi mengategorikannya sebagai tradisi semata. Namun bagi setiap pribadi tentunya harus berusaha mencari yang terbaik untuk dirinya.

فَبَشِّرْ عِبَادِ الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَاهُمُ اللَّهُ وَأُولَئِكَ هُمْ أُولُو الْأَلْبَابِ

Oleh sebab itu, sampaikanlah berita gembira itu kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal.” (QS. Al-Zumar: 17-18)

Dalam kitab Maa Laa Yasa’ al-Muslima Jahluhu, DR. Abdullah Al-Mushlih dan DR. Shalah Shawi menuturkan, “Perbedaan pendapat tentang persoalan mukhtalaf (masih diperselisihkan) tidak boleh diingkari. Sedangkan menyelisihi persoalan yang muttafaq ‘alaih (disepakati/baku) harus diingkari.

Kita juga meyakini bahwa persoalan-persoalan ijtihadiyah –yaitu setiap persoalan yang tidak memiliki dalil tegas yang ditunjukkan oleh nash atau ijma yang shahih- bukan termasuk pesoalan yang dituntut oleh al-wala’ dan bara’. Orang yang berbeda pendapat dalam masalah ini, tidak boleh dikucilkan. Sementara sikapnya tersebut tidak boleh dijadikan alasan untuk mencela komintmennya dalam beragama, selama sikapnya tersebut bersumber dari ijtihad atau taklid yang dibenarkan.

Jama’ah (persatuan) kaum muslimin tidak boleh terpecah hanya karena perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’iyah ini. Walaupun hal ini tidak boleh menjadi halangan bagi seseorang untuk melakukan penelitian ilmiah dalam masalah ini, dengan harapan mendapatkan kebenaran hakiki. Tetapi dengan catatan jangan sampai menimbulkan debat kusir dan fanatisme.”
. . . Jama’ah (persatuan) kaum muslimin tidak boleh terpecah hanya karena perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’iyah ini. Walaupun hal ini tidak boleh menjadi halangan bagi seseorang untuk melakukan penelitian ilmiah dalam masalah ini . . .

Mengucapkan Selamat Tahun Baru Hijriyah, Antara Boleh dan Tidak

Mengucapakan selamat tahun baru Hijriyah tidak pernah dikenal pada masa sahabat. Namun pada masa belakangan ini muncul banyak pertanyaan tentangnya yang ditujukan kepada para ulama kontemporer. Kemudian mereka mengeluarkan pendapat dengan argumentasi mereka dan sudut pandang yang dipahami. Secara global pendapat ulama tentang ucapan tahun baru Hijriyah terbagi menjadi dua pendapat.

Pendapat pertama, membolehkan karena ia termasuk bagian dari tradisi, bukan ubudiyah. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah. Beliau berkata, “Saya berpendapat memulai mengucapkan selamat saat datangnya tahun baru adalah tidak mengapa, namun itu tidak disyariatkan. Maksudnya, kami tidak mengatakan kepada orang-orang: Itu disunnahkan bagi kalian, maka sebagin kalian mengucapkan selamat kepada yang lain. Tetapi jika mereka mengerjakannya maka tidak apa-apa (tidak berdosa). Dan sepantasnya juga, jika ada yang mengucapkan selamat tahun baru kepadanya agar memohonkan kepada Allah untuknya agar menjadi tahun yang baik dan berkah, maka seseorang seyogianya membalas ucapan selamat. Ini pendapat kami dalam masalah ini, ia termasuk perkara adat (budaya) dan bukan bagian perkara ta’abbudiyah (peribadatan).” (Liqa’ al-Bab al-Maftuh)

Jawaban beliau yang lain tentang masalah ini dalam “al-Liqa’ al-Syahri”, “Jika ada seseorang mengucapkan selamat kepadamu maka balas (jawab)-lah ucapannya. Dan jangan engkau memulai mengucapkannya kepada seseorang. Inilah pendapat yang benar dalam masalah ini. Jika ada orang berkata kepadamu, misalnya: Kami mengucapkan selamat tahun baru kepadamu. Maka ucapkanlah, “Semoga Allah melimpahkan kebaikan kepadamu dan menjadikannya sebagai tahun yang baik dan berkah.” Tapi janganlah engkau memulai mengucapkannya kepada seseorang, karena saya tidak pernah tahu ada keterangan dari ulama salaf (ulama terdahulu), mereka memberikan ucapan selamat tahun baru. Terlebih yang perlu Anda ketahui, mereka tidaklah menjadikan bulan Muharram sebagai tahun baru kecuali pada masa kekhilafahan Umar bin Khathab Radhiyallahu ‘Anhu.”

Dan dalam al-Dhiya’ al-Lami’ (hal. 702) beliau berkata, “Bukan termasuk sunnah, kita menyebut datangnya tahun baru HIjriyah sebagai ‘Id (hari raya) atau kita membiasakan saling mengucapkan selamat atas kehadirannya.”
. . . Bukan termasuk sunnah, kita menyebut datangnya tahun baru HIjriyah sebagai ‘Id (hari raya) atau kita membiasakan saling mengucapkan selamat atas kehadirannya. . . (Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin)

Syaikh Abdul Karim al-Khudhair berfatwa mengenai ucapan selamat tahun baru hijriyah, “Mendoakan kebaikan seorang muslim dengan doa yang global yang tidak dijadikan oleh seseorang sebagai ubudiyah dengan melafadhkannya pada momentum-momentum tertentu seperti perayaan-perayaan, maka itu tidak apa-apa. Terlebih apabila maksudnya dari ucapan selamat ini untuk menunjukkan kecintaan, menampakkan kebahagiaan dan kegembiraan pada wajah seorang muslim. Imam Ahmad berkata, “Saya tidak mau mengawali ucapan selamat. Namun jika ada seseorang yang mengawalinya, maka aku pasti menjawabnya. Karena menjawab sebuah penghormatan adalah wajib. sedangkan memulai ucapan selamat bukanlah termasuk sunnah yang diperintahkan dan juga bukan termasuk perkara yang dilarang.” (Dikutip dari, Situs al-Islamwa Jawab, www.islamqa.com)

Pendapat Kedua, melarang secara keseluruhan. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Syaikh Shalih al-Fauzan. Saat beliau ditanya tentang ucapan selamat tahun baru hijriyah, maka beliau menjawab, “Kami tidak mengenal dasar untuk mendukung hal ini. Dan maksud penanggalan Hijriyah bukan ini, awal tahun dijadikan sebagai satu moment, dihidupkan, menjadi kalimat ucapan, perayaan dan saling mengucapkan selamat. Sesungguhnya dibuatnya penanggalan hijriyah adalah untuk membedakan kesepakat-kesepakatan (kontrak) saja. Ini sebagaimana yang dilakukan Umar bin Khathab Radhiyallahu ‘Anhu saat kekhilafahan Islam meluas pada masanya, datanglah beberapa surat yang tak bertanggal. Maka dibutuhkan penetapan penanggalan agar diketahui tanggal pengiriman dan penulisan. Kemudian beliau bermusyawarah dengan para sahabat, lalu mereka mengusulkan agar menjadikan hijrah sebagai titik tolak penanggalan hijriyah. Mereka menolak penanggalan Miladiyah yang sudah ada pada masa itu, lalu menjadikan hijrah sebagai permulaan penanggalan kaum muslimin untuk mengetahui status dokumen dan surat saja. Bukan untuk dijadikan sebagai momentum, dijadikan kaliamt ucapan, ini akan menyeret kepada perkara bid’ah.”

Beliau pernah mendapatkan pertanyaan, “Jika ada seseorang mengucapkan kepadaku: Kullu ‘Aamin Wa Antum Bikhairin, apakah kalimat ini disyariatkan pada hari-hari tersebut. Dengan tegas beliau menjawab, “Tidak, tidak disyariatkan, dan ini tidak boleh.” (Lihat: al-Ijabah al-Muhimmah fi al-Masyakil al-Mulimmah: 229)

Mana yang Lebih Kuat?      

Melihat perbedaan kesimpulan para ulama (masih banyak ulama-ulama lain yang berbeda pendapat dalam masalah ini), sepertinya pendapat yang melarang (anjuran agar meninggalkan) adalah lebih kuat dengan beberapa pertimbangan:

1. Ucapan tahun baru Hijriyah adalah ucapan selamat terhadap hari tertentu dalam satu tahun, diulang-ulang setiap tahun. Maka ucapan selamat menjadi seperti hari raya yang dikerjakan berulang-ulang. Sedangkan kita dilarang menetapkan hari raya selain Idul Fitri dan Isul Adha. Karenanya mengucapkan selamat dilarang.

2. Ada sisi menyerupai Yahudi dan Nasrani sedangkan kita diperintahkan agar menyelisihi mereka. Karena Yahudi mengucapkan selamat kepada sesamanya pada awal tahun Ibrani yang diawali pada bulan Tishrei, bulan pertama dalam penanggalan Yahudi. Sementara Nasrani, sesama mereka saling mengucapakan selamat pada tahun baru Masehi.

3. Terdapat unsur tasyabuh (menyerupai) dengan Majusi dan musyrikin Arab. Adapun orang Majusi saling mengucapkan selamat pada hari raya Nairuz, hari permulaan tahun. Sementara orang Arab Jahiliyah, mereka mengucapkan selamat kepada raja-raja mereka pada hari pertama dari bulam Muharram sebagaimana yang disebutkan dalam kitab, “Ajaaib al-Makhluqaat.” (Lihat kitab al A’yaad wa Atsaruhaa ‘ala al-Muslimini, DR. Sualiman al-Sahimi.

4. Jika dibolehkan atau ditradisikan mengucapkan selamat atas tahun baru Hijriyah akan membuka pintu untuk dibolehkannya atau ditradisikannya ucapan selamat tahun pelajaran baru, hari kemerdekaan, hari kenegaraan, dan semisalnya, yang tak pernah dibolehkan oleh mereka yang membolehkan ucapan selamat tahun baru Hijriyah.

5. Ucapan selamat tahun baru Hijriyah, pada dasarnya, tidak memiliki makna. Asal makna ucapan selamat adalah karena mendapat nikmat yang baru atau dihindarkan dari bencana. Pertanyaannya, nikmat apa yang diperoleh dengan berakhirnya tahun Hijriyah? Dan yang paling penting adalah bermuhasabah (introspeksi diri) sudah banyak umur yang berkurang dan ajal semakin dekat.

Oleh Badrul Tamam

[PurWD/voa-islam.com]

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.